Selasa, 29 Juli 2008

MENGINTIP SEKSUALITAS SERAT CENTHINI (2)


Seperti diungkap oleh Franz Magnis Suseno dalam Etika Jawa, yang dikutip Sukatno, adalah fakta bahwa hubungan seksual dalam masyarakat Jawa hanya diizinkan dalam rangka perkawinan. Masyarakat Jawa tidak mengenal masalah seksual sebagai wahana pelampiasan nafsu hedonistik, penikmatan terhadap hidup. Namun, pada kenyataannya tidaklah demikian. "Adanya sistem budaya katuranggan jelas merupakan penyangkalan terhadap hal itu," ungkap Sukatno.

Dalam sejumlah karya sastra Jawa maupun karya tulis lainnya, seperti primbon, soal katuranggan banyak diungkapkan, termasuk dalam Serat Centhini. Dalam kaitannya dengan perempuan, katuranggan dapat diartikan sebagai watak, sifat, atau tanda-tanda berdasarkan penampakan lahiriahnya.

Dalam budaya katuranggan, terdapat beberapa ciri perempuan yang menjadi idealitas lelaki untuk dijadikan istri, karena kemampuannya dalam melakukan aktivitas seksual. Tipe-tipe perempuan demikian, di antaranya disebut guntur madu, merica pecah, tasik madu, sri tumurun, puspa megar, surya surup, menjangan ketawan, amurwa tarung, atau mutyara.

Sebagai gambaran, perempuan bertipe surya sumurup itu perempuan yang memiliki dua lapis bibir yang berwarna merah jambu. Sorot matanya kebiru-biruan. Ada sinom (rambut yang tumbuh di atas dahi) yang menggumpal. Kedua alisnya nanggal sepisan (laksana bulan sabit). Perempuan seperti ini menjadi idaman kaum lelaki, karena memiliki kesetiaan yang tak diragukan lagi. Lebih dari itu, ungkap Sukatno, ia tipe perempuan yang serasi dalam bermain asmara, sehingga dapat mencapai derajat marlupa (orgasme) bersama-sama.

Ekspresi budaya katuranggan ini juga terungkap, misalnya dalam Kitab Primbon Lumanakim Adammakna. Disebutkan, seperti dikutip Sukatno, ciri perempuan yang menggairahkan secara seksual antara lain, pertama, bertubuh kecil, wajahnya merah bersemu biru manis, rambut hitam panjang, sinom menggumpal. Kedua, bertubuh kecil, pandangan dan wajahnya nguwung (agak melengkung), kulit kuning bersemu hijau, sinom menggumpal. Ketiga, bertubuh tinggi langsing, badan mbambang (padat berisi), roman mukanya galak, dan rambutnya panjang. Masih banyak lagi ciri perempuan menggairahkan lainnya.

Seperti diungkap Sukatno, tentu saja tidak semua tipe perempuan cocok dengan tipe ideal seperti itu. Masih ada tipe-tipe lain yang merupakan tipe campuran dari sebagian atau keseluruhan wacana ketubuhan tiap-tiap tipenya. Memang rumit dan kompleks, karena seks tidak bisa dinilai hanya dari segi penampilan lahiriahnya semata.

Ritualisasi seksual juga diungkapkan dalam Serat Centhini, termasuk soal tata krama dalam melakukan hubungan seksual antarsuami-istri. Dalam berhubungan, misalnya, harus empan papan. Maksudnya, mengetahui situasi, tempat, dan keadaan, tidak tergesa-gesa, dan juga merupakan keinginan bersama.

Selain mendasarkan diri pada tata krama menurut budaya Jawa, tata krama ini juga mendasarkan diri pada hadis Nabi Muhammad SAW. Misalnya, sebelum melakukan hubungan seksual, seyogianya mandi terlebih dahulu. Setelah itu berdandan dan memakai wewangian. Sebelum mulai, berdoa lebih dahulu dengan mengucapkan syahadat.

Masayarakat Jawa juga mengenal kalender seksual. "Ini berkaitan dengan masalah rasa perempuan, yang berhubungan dengan organ genital seksualnya. Satu asumsi bahwa setiap hari organ genital seksual yang sensitif pada perempuan selalu berpindah-pindah tempat, sesuai dengan tinggi rendahnya Bulan - ini berdasar pada kalender Jawa. Dengan mendasarkan pada kalender seksual, pasangan dapat mencapai puncak kepuasan secara bersama-sama," tulis Sukatno.

Dalam Serat Centhini (Pupuh Salisir) terungkap pula dengan jelas bahwa suami harus memperhatikan istrinya berdasarkan ciri-ciri atau penampakan tubuhnya, sebelum melakukan hubungan badan. Selain diungkap mengenai tata cara, etika, dan ritualisasi, dalam Serat Centhini II (Pupuh Asmaradana) diulas pula bentuk-bentuk serta pose hubungan seksual yang seharusnya dilakukan. Semua itu dimaksudkan agar pasangan dapat mencapai kepuasan bersama-sama. "Hubungan seksual tidak hanya sekadar pemuasan nafsu lelaki maupun perempuan, tetapi juga sebagai bentuk ungkapan perasaan cinta kasih, proses prokreasi, dan seks sekaligus sebagai wahana ibadah," ungkap Sukatno.

Dalam Serat Centhini IV (Pupuh Balabak) dijelaskan dengan gamblang bagaimana seyogianya posisi berhubungan seksual sebagaimana ajaran Jawa. Dalam melakukan penetrasi, misalnya, harus tetap pula melihat tipe perempuan pasangannya. Maka kemudian ada gaya kadya galak sawer (patukannya laksana ular galak); lir ngaras gandane sekar (seperti meraba baunya bunga); lir bremana ngisep sekar (laksana kumbang mengisap madu); lir lumaksana pinggire jurang (ibarat berada di tepi jurang); baita layar anjog rumambaka (seperti kapal layar turun ke tengah lautan), dan sebagainya.

Dalam masyarakat Jawa masa lalu dikenal pula berbagai resep jalu usada (pengobatan seksual) agar lelaki jadi perkasa. Misalnya, untuk mencegah agar air mani tidak encer sehingga dapat memperoleh keturunan, seperti dijumpai dalam Serat Centhini VII (Pupuh Dhandhanggula). Resepnya berupa merica sunti dan cabe wungkuk tujuh buah, garam lanang, arang kayu jati, gula aren seperempat. Semua bahan itu dipipis hingga lembut di tengah halaman pada saat siang hari. Sesudah itu dibentuk seperti kapsul.

Jamu berbentuk mirip kapsul itu ditelan sambil membaca mantra, "Sang dewa senjata akas-akas, kurang baga luwih akase, kurang baga akukuh, ora ana patine." Enggak ada matinye!

Tidak ada komentar: