Kamis, 17 Juli 2008

LAGU JEPANG RASA JAWA

Jika di wilayah Jember terdapat jenis tembakau hongberehong, jangan dikira nama ini asli Indonesia. Nama tembakau itu diserap dari bahasa Belanda ontberegend untuk menyebut jenis tembakau yang tidak terkena hujan. Demikian juga jika di Malang orang menggunakan istilah kemincrat "pungutan pajak", tidak lain adalah penyerapan dari kata gemeente raad. Dalam bahasa Belanda istilah itu khusus dipakai untuk menamakan pajak yang sudah diputuskan berlakunya oleh "sidang dewan kotapraja".

Penyerapan kata seperti itu jumlahnya tidak sedikit. Pemakaian bahasa Belanda yang banyak dikenal masyarakat akibat penjajahan yang tiga setengah abad lamanya menjadikan orang Indonesia terbiasa mendengarnya. Cuma, lidahnya tetap saja kelu. Jadi, ya tidak mampu melafalkannya secara benar.

Tak hanya Belanda yang begitu lama menjajah, Jepang yang hanya menduduki Nusantara selama tiga setengah tahun itu pun mengakibatkan penyerapan yang tidak hanya sekadar kata atau istilah, tetapi berupa pengindonesiaan - tepatnya sih penjawaan - lagu-lagu dari negeri Matahari Terbit ini.

Mereka yang terlahir pada zaman sebelum kedatangan Jepang tentunya hafal lagu Bandanusakura. Lengkapnya lagu ini di dalam wujud serapan adalah: Bandanu sakura kaino riwo, Hana hayo kusumoni tarakan ciwo, Hana matsyu suku mori hinare rawa, Sampek seno hanato cire. Dalam not angka kira-kira begini: Soldododododoreredoremi, Mimimimireredodolaladolasol, Solsolsolsolsolsolsolsolmisollalasol, Misolresolmimireredo (yang berhuruf tebal menunjukkan nada di atasnya). Larik-larik itu tentu saja tidak semuanya benar, karena transkripsi itu hanyalah menurut yang didengar penulis.

Yang menarik bukanlah larik-larik itu semata. Menurut Matsuko (mahasiswa penulis dari Jepang, yang datang di UNS khusus untuk meningkatkan kemampuannya berbahasa Indonesia agar dapat mempelajari sejarah bangsa Indonesia) bahasa yang dipakai di dalam lagu itu termasuk "bahasa Jepang kuno". Akan tetapi, menurut penulis, yang menarik ialah "terjemahan pelesetan" lagu itu ke dalam bahasa Jawa dialek Surabaya-Malang berikut ini: Bantal sakkintal sakkilokilo (Bantal sekuintal dapat sekilo); Awan-awan nunu trasi ngoreti tompo (Siang-siang membakar terasi mengais tompo); Sruwal siji klambi siji tumane nglambar (Celana satu baju satu banyak kutunya); Sampek Cina metu kucire (Sampai Cina keluar kucirnya).

Orang-orang seusia penulis pada masa itu suka sekali menyanyikan "terjemahan pelesetan"-nya ke dalam bahasa Jawa itu. Boleh jadi karena larik-larik Jawanya yang menggambarkan kemelaratan bangsanya yang kebablasan alias melampaui batas. Sampek Cina metu kucire menggambarkan penderitaan rakyat Indonesia yang berlarut-larut pada zaman penjajahan Jepang. Dengan demikian, lagu pelesetan itu merupakan lagu simbolis sebagai rekaman perikehidupan rakyat yang penuh dengan penderitaan waktu dijajah Jepang, karena untuk makan saja orang harus mengais-ngais butir-butir nasi di tempat nasi, ditambah lagi pakaian yang dimilikinya hanya satu, yakni yang menutupi tubuhnya itu saja.

Segi yang tersirat di dalam lagu pelesetan itu ialah bahwa bangsa Indonesia sekarang tidak boleh mengulangi lagi penderitaan seperti itu. "Tanah tumpah darahku yang suci mulia, indah dan permai bagaikan intan permata" - penggalan lirik sebuah lagu pujaan kita - harus dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Tidak ada komentar: