Selasa, 22 Juli 2008

BETERNAK SAPI DI TENGAH KOTA


Usaha peternakan sapi perah tentu membutuhkan lahan dan lingkungan yang menunjang. Lahannya harus luas dan jauh dari permukiman agar tak membikin polusi. Sebab itu, sungguh musykil membangun peternakan di tengah padatnya rumah di perkotaan. Kalaupun ada sebuah peternakan di tengah kota, timbul keingintahuan bagaimana mengelolanya.

Begitulah yang saya alami saat mengikuti program undangan pemuda dari Pemerintah Jepang bidang peternakan. Selama kunjungan itu saya dan rombongan dibawa ke beberapa tempat yang ada hubungannya dengan peternakan. Salah satu yang menarik adalah kunjungan ke Peternakan Koizumi.

Dilihat dari skalanya, peternakan milik Kousichi Koizumi ini tidaklah istimewa. Yang dipelihara hanya 43 ekor sapi perah, terdiri atas 36 sapi penghasil susu dan sisanya digemukkan. Hasil panen per tahunnya mencapai sekitar 240 ton susu segar. Biasa saja 'kan?

Yang tidak biasa pada peternakan ini adalah letaknya yang berada di tengah padatnya Kota Tokyo! Ya, di antara kerapatan rumah penduduk dan bangunan perkantoran modern itulah Koizumi mengelola sumber penghidupannya. Tepatnya di 2-7-16 Gakuenmachi, Ooizumi, Nerima-ku. Tentu ada nilai plus dan minus keberadaan peternakan sapi perah Koizumi ini bagi masyarakat sekitar. Nilai plusnya, susu segar selalu tersedia dalam keadaan yang benar-benar segar. La wong pabriknya tetangga sendiri kok.

Namun, nilai minusnya juga ada. Lingkungan tercemar oleh bau kotoran sapi. Kemudian bagaimana soal pembuangan air yang digunakan untuk memandikan sapi dan membersihkan kandang sapi?



Semua tentu sudah terpikirkan oleh Koizumi. Sesungguhnya, ia hanya meneruskan usaha peternakan ini. Pengelola sebelumnya adalah Fujishichi. Koizumi sendiri aslinya dari Iwate. Untuk melawan bau tak sedap, Koizumi mengeluarkan jurus bubuk kopinya. Ini bukan jurus susah dan mahal, sebab cuma bermodalkan ampas kopi yang kemudian ditaburkan di sekeliling kandang. Walhasil, bau kotoran sapi teredam oleh bau harum kopi.

Lalu soal limbah kotoran sapi yang menjadi persoalan berat telah diselesaikan oleh pengelola sebelumnya. Fujishichi melakukan negosiasi dengan bagian pembuangan limbah pemerintah kota. Untunglah negosiasinya berjalan lancar. Peternakan yang dikelola Fujishichi boleh membuang kotoran sapi ke saluran limbah. Tentunya, ini akan menyingkat waktu pemeliharaannya.

Persoalan penting lainnya yaitu sosialisasi. Ini supaya peternakan tidak diprotes warga sekitar. Selain itu Koizumi juga bekerja sama dengan pemerintah dan koperasi pertanian. Koizumi - yang dibantu oleh istri, anak, dan beberapa karyawan - hanya bekerja pada pagi dan sore hari. Untuk pakan ia memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya. Misalnya, ampas tahu yang dia ambil dari 13 pabrik tahu. Sedangkan rumput ia kumpulkan dari pinggir Sungai Arakawa. Dengan cara seperti itu, ternyata Koushichi bisa menghemat biaya pakan sebesar 36,4%.

Manajemen ala Koizumi itu nyatanya menarik minta banyak kalangan. Peternakan Koizumi sering didatangi mahasiswa dari universitas-universitas pertanian yang ada di Tokyo untuk melakukan praktik lapangan. Bahkan, tak jarang murid TK dan SD tertarik untuk melihat-lihat peternakan. Ketika kami berkunjung ke sana, Koizumi menunjukkan identitas seorang pejabat Indonesia yang di tengah kunjungan dinasnya menyempatkan diri dan menyerap pengetahuan dari Koizumi.

Ah, tidak ada salahnya model peternakan Koizumi ini ditiru 'kan?

Tidak ada komentar: