Senin, 30 Juni 2008

PLUTO BUKAN PLANET


Ilmu pengetahuan adalah karsa dan karya manusia, maka jelas tidak mungkin lepas dari kekeliruan, akibat manusia memang bisa keliru. Tidak ada ilmu pengetahuan yang bebas keliru, termasuk di antaranya astronomi.

Meski sebagai suatu bentuk ilmu sudah sangat tua usianya, namun senantiasa terkesan bahwa astronomi adalah ilmu modern. Mungkin akibat peralatan observasi astronomi memang terus berkembang, selalu mengalami pembaruan hingga terkesan selalu baru.

Dalam perjalanan sejarah perkembangannya, astronomi mengalami berbagai kekeliruan, mulai dari yang sangat rumit sampai yang amat sederhana.

Salah satu kekeliruan astronomi terparah adalah anggapan bahwa Matahari bergerak mengelilingi dunia. Anggapan ini semula sangat diyakini, apalagi didukung pembenaran resmi oleh lembaga agama, hingga terkesan sudah merupakan fakta yang pasti benar, mustahil - akibat tidak diperkenankan - keliru.

Sebenarnya, sejak dini, seorang pengamat benda langit masa kuno, Aristarchos dari Samos, Yunani, sudah mencanangkan teori heliosentris menobatkan Matahari sebagai pusat sistem planet. Namun semula banyak yang tidak percaya. Baru ketika pada tahun 1507 Kopernikus menggali kembali teori heliosentris Aristarchos itu, dunia iptek mulai terhenyak, meski anggapan Bumi sebagai pusat sistem planet masih tidak tergoyahkan.

Pada tahun 1609 Galileo Galilei mulai angkat bicara, mati-matian membela kebenaran teori heliosentris galian Kopernikus, diperkuat hasil observasi Kepler bahwa bentuk gerak planet mengelilingi sang Surya adalah elips.

Ulah astronom asal Galilei itu membuat para pemuka agama masa itu berang, menuduh Galileo bukan cuma sekadar keliru, namun juga menghujat Allah. Terpaksa, pada tahun 1633 Galileo Galilei secara resmi mengakui ”kekeliruan” sambil memohon ampun atas kemaksiatan dirinya di hadapan pengadilan inkuisisi. Baru pada menjelang abad XX, setelah lebih dari tiga abad dianggap keliru, teori heliosentris secara resmi diakui kebenarannya. Segenap tuduhan sampai vonis kepada Galileo Galilei dicabut kembali dan reputasi kecendekiawanannya direhabilitasi Vatikan.

Lain lagi kilah astronom AS, Clyde Tombaugh, yang pada tahun 1930 ”menemukan” sebuah benda angkasa yang kemudian dikategorikan sebagai planet dan diberi nama Pluto.

Clyde mengklaim ukuran planet Pluto jauh lebih besar ketimbang planet Bumi. Maka sejak itu diyakini bahwa sistem tata surya terdiri atas sembilan planet, dan Pluto terletak paling jauh dari Matahari.

Namun di awal tahun 1996 astronom lain AS, Larry Esposito, menyatakan planet sistem tata surya cuma delapan, karena Pluto tidak layak disebut planet. Berdasar kajian observatif dengan teknologi lebih maju Esposito yakin bahwa ukuran Pluto cuma sekitar dua pertiga rembulan Bumi saja.

Susunan bebatuan Pluto juga berbeda dengan planet lazimnya, sebab terdiri atas metan dan nitrogen yang membeku dengan kekerasan mirip baja. Pluto memang memiliki sejenis rembulan, yang baru ditemukan tahun 1978, namun besarnya nyaris sama dengan Pluto sendiri. Maka Esposito menyimpulkan bahwa Pluto cuma sejenis debu angkasa yang berasal dari tetangga sistem tata surya.

Namun kaum penganut teori Tombaugh bersikeras bahwa Pluto memang benar-benar planet sistem tata surya, karena ukurannya jauh lebih besar ketimbang asteroid. Pada suatu hari pasti terbukti bahwa salah satu dari dua anggapan ilmiah itu adalah benar. Atau malah keduanya keliru?

Tidak ada komentar: